Di awal semester, biasanya mahasiswa sibuk mengurus banyak hal, seperti membayar uang kuliah, membayar uang kos atau bahkan memburu baju baru. Jumlah pengeluaran yang harus dikeluarkan bisa membuat mahasiswa risau. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa persaingan untuk masuk ke dunia kerja semakin ketat. Lalu, muncul lah pertanyaan ”Kira-kira bagaimana bisa bertahan hidup ya? Kalau saya kerja nanti, apa gajinya bisa cukup? Bakal bisa beli rumah atau kuliah S2 gak ya?”
Oleh sebab itu, ada satu lagi persiapan untuk masa depan yang perlu dilakukan dari sekarang, yaitu investasi.
“Belum punya uang sendiri, kak. Nanti aja pas udah kerja ya..”
“Oh, itu biar nanti aja. Keajuhan, masih lama.”
“Itu mah urusan orang tua “
Mungkin itu yang terbersit di benak anak-anak muda ketika mendengar kata investasi. Sebelum benar- benar mengesampingkan ide untuk berinvestasi, ada baiknya kita mengamati keadaan sekitar terlebih dulu.
Coba bayangkan biaya kuliah 1980-an adalah Rp300.000 per semester. Saat ini biaya kuliah kita per semester berkisar Rp5.000.000 (lima juta rupiah)- Rp7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) per semester. Itu pun biaya kuliah S1 reguler. S1 Paralel dan Kelas Khusus Internasional lebih tinggi lagi. Nilai uang bisa melemah, uang yang kita miliki saat ini lebih berharga dibandingkan dengan di masa yang akan datang. Keadaan ini yang disebut inflasi. Sayangnya, di masa yang akan datang, ketika harga-harga barang bisa semakin meningkat, belum tentu penghasilan akan naik dengan laju yang sama seperti inflasi.
Investasi yang tepat dapat mengalahkan laju inflasi. Menurut Desmon Wira, penulis buku Memulai Investasi Saham, investasi merupakan kegiatan memanfaatkan waktu, uang atau tenaga dengan harapan mendapatkan keuntungan dan manfaat di masa depan. Sehingga pada dasarnya adalah ‘membeli’ sesuatu yang diharapkan bisa ‘dijual kembali’ di masa depan dengan nilai yang lebih tinggi. Dalam konteks finansial, yang dibeli berupa aset. Sehingga, alih-alih kita yang aktif bekerja, uang lah yang ‘bekerja’ untuk kita.
Terdapat berbagai macam jenis investasi, antara lain investasi di properti; logam mulia (emas, perak, berlian); pasar uang, seperti deposito dan valuta asing; serta pasar modal, yang mencakup saham, obligasi, reksadana, dan lain-lain. Setiap jenis investasi memiliki keunggulan maupun risiko masing-masing. Apapun jenis investasi yang dipilih, harus disesuaikan dengan kondisi keuangan pribadi. Salah satu pilihan investasi yang dapat dilirik oleh mahasiswa adalah investasi di saham.
Investory Mahasiswa UI
Saham itu mahal? Sulit? Judi? Mungkin anggapan tersebut menghantui dan membuat mahasiswa ragu untuk mulai berinvestasi saham. Anggapan tersebut sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Berikut ini pengalaman teman-teman di sekitar kita yang sudah mulai berinvestasi saham.
Pungky (Ilmu Politik 2014) merasakan dorongan untuk menjadi mandiri secara keuangan. Ia telah memulai usaha saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sayangnya, ia terhalang dalam hal modal. Oleh sebab itu ia memilih untuk berinvestasi pada saham.
Selain Pungky, ada juga Muhammad Adillo (Manajemen 2016), yang biasa dipanggil Dillo. Ia mengenal saham dari ayahnya. Akan tetapi, ia menyadari bahwa ia harus mandiri secara finansial dan tidak terus-menerus bergantung pada orang tua. Dengan ‘menanam’ uang di saham, Dillo pernah mendulang keuntungan hingga 90 persen. Namun, selain keuntungan materi, ternyata dengan jual beli saham mental Dillo dilatih.
“Mental dilatih. Apalagi ketika awal-awal (praktik belajar transaksi saham), panikan melihat harga saham naik-turun. Harus sadar juga result gak immediate, gak bisa selalu saham kita langsung melonjak harganya. Kita harus bisa manage stress.” Ungkap Dillo yang telah berkecimpung di pasar modal sejak tahun 2016.
Dillo pernah menderita kerugian sebesar 30% persen. Ia tergoda melihat harga saham yang terus naik. Bagi pemula, Dillo memiliki saran, “Belajar dasar-dasarnya dan jangan takut rugi. Kalau gak tau dasar-dasarnya, itu kayak gambling.”
Alumni UI, El Fardey Haqka (Matematika 2013) juga berinvestasi saham sejak masih kuliah. Karena ingin benar-benar belajar, ia bergerak untuk membuka rekening efek. Walaupun belum sepenuhnya paham mengenai saham, ia membeli saham salah satu perusahaan konstruksi senilai Rp200.000. Dalam waktu seminggu, ia meraup keuntungan sebesar Rp23.000. Setelah ia semakin banyak belajar dan mempraktikan jual-beli saham, ia dapat membayar cicilan motor.
“Manfaat yang paling kerasa, duit gua nambah. Terus, gua jadi mikirin masa depan. Time value of money – Gua ngerasa investasi penting banget, waktu itu ga boleh disia-siakan.” Ungkap El Fardey Haqka.
Pungky, Dillo dan El adalah bagian dari kelompok anak muda yang mendominasi investor baru 2016. Menurut manajer Pengembangan Investor PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Paramita Sari, usia 17-30 tahun merupakan angkatan yang paling banyak menjadi investor baru di tahun 2016. Secara lebih spesifik, pertumbuhan investor berusia 17-20 tahun sebesar 325,57 persen.
Investasi Saham, Laba Moncer di Genggam
Saham merupakan tanda kepemilikan perusahaan. Keuntungan dapat berasal dari kenaikan harga saham dan dividen (jika perusahaan mendapat laba dan memutuskan untuk membagikan sebagian laba tersebut kepada investor). Berinvestasi di saham tidak membutuhkan modal yang banyak, mudah diuangkan kembali, aman karena dijamin oleh pemerintah dan memberikan imbal balik tertinggi dibandingkan dengan investasi lainnya.
Fakta menunjukkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau indeks rata-rata seluruh saham, pada tahun 1992 adalah 274,3 poin. Kemudian IHSG melonjak 2056,52 persen menjadi 5.915,36 poin, rekor tertinggi IHSG, pada 25 Agustus 2017.
Tingkat imbal hasil IHSG di sepanjang 2016 adalah yang kelima tertinggi di antara bursa-bursa dunia dan yang kedua tertinggi di antara bursa-bursa di kawasan Asia Pasifik. “Bahkan dalam 10 tahun terakhir (2006-2016) tingkat imbal hasil IHSG adalah yang tertinggi di antara bursa-bursa utama dunia,” menurut Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui keterangan pers, Rabu (21/6).
Lalu, bagaimana jika saham dibandingkan dengan investasi lainnya? Investasi di properti (tanah, rumah, apartemen) dan logam (emas, perak, berlian,) mulai memang potensial untuk memberikan imbal balik yang tinggi. Akan tetapi, membeli properti dan emas membutuhkan modal yang besar. Selain itu, properti dan logam mulia tidak bisa cepat dijual dan diuangkan karena kita harus mencari pembelinya. Padahal properti dan logam mulia bukan barang yang rutin dibeli. Ditambah lagi, kita harus berhati-hati jika menyimpan logam mulia karena rawan dicuri.
Investasi pada deposito dapat menghasilkan keuntungan melalui bunga yang diberikan bank. Bunga tersebut memang lebih besar, namun bunga tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan laju inflasi. Sebagai contoh, berdasarkan data Bank Indonesia, laju inflasi pada Juli 2017 adalah 3,88 persen. Sementara bunga deposito di salah satu bank hanya berkisar antara 4,25 persen hingga 6 persen. Kemudian, perlu diingat bahwa ada bank yang mewajibkan saldo minimal deposito sebesar Rp10.000.000. Kelemahan lain deposito, yaitu kita tidak bebas menarik dana yang telah disetor. Jika kita terpaksa menarik uang sebelum jangka waktu deposito berakhir, maka kita harus membayar penalti.
Alternatif lainnya adalah berinvestasi di produk pasar modal seperti obligasi dan reksadana. Obligasi adalah surat utang. Sedangkan reksadana menghimpun dana dari masyarakat, lalu dana tersebut dikelola oleh manajer investasi untuk diinvestasikan pada berbagai instrumen keuangan, termasuk saham dan obligasi. Namun, imbal baliknya tidak sebesar saham.
Tidak dapat dipungkiri, saham juga memiliki risiko kerugian, antara lain harga saham yang dibeli bisa turun di masa depan akibat kinerja perusahaan yang menurun maupun sentimen negatif dari dalam dan luar negeri. Selain itu, perusahaan yang sahamnya kita miliki, mengalami kerugian. Sehingga tidak dapat membagikan deviden. Bahkan, perusahaan bisa bangkrut.
Cara Memulai Investasi Saham
Memulai investasi saham dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Cukup dengan menyiapkan dokumen pribadi, isi formulir di perusahaan sekuritas dan menyetor dana awal, kita bisa bertransaksi. Jumlah dana awal tergantung pada perusahaan sekuritas. Ada perusahaan efek dimana hanya dengan modal Rp100.000, kita sudah dapat membuka rekening efek. Lalu, pilih emiten (perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan di bursa efek) yang sahamnya diinginkan. Minimal pembelian saham adalah 1 lot yang berarti 100 lembar saham.
Sebagai ilustrasi, harga 1 lembar saham Kalbe Farma (KLBF) pada 31 Agustus 2017 adalah Rp1.710 (seribu tujuh ratus sepuluh rupiah). Berarti hanya dibutuhkan Rp171.000 (Rp1.710 x 100 lembar) untuk membeli 1 lot saham KLBF. Tidak berat bukan? Coba bandingkan dengan biaya nge-mall, termasuk ongkos pergi dan pulang, makan, ngopi cantik dan belum lagi jika ada barang yang kebetulan diskon.
Melakukan transaksi jual-beli saham juga simpel. Dengan modal internet, bertransaksi dalam dilakukan dimana saja dengan gawai yang kita miliki sebab sebagian besar perusahaan sekuritas sudah menyediakan online platform.
Belajar saham pun semakin mudah. Terdapat banyak buku mau artikel yang dapat dibeli atau dibaca di dunia maya. BEI secara rutin menyelenggarakan Sekolah Pasar Modal (SPM) untuk mensosialisasikan dasar-dasar berinvestasi saham. Di samping itu, perusahaan sekuritas biasanya turut mengadakan kelas-kelas investasi bagi nasabahnya.
Sekarang Waktunya
Investasi sudah menjadi kebutuhan untuk membangun masa depan. Kenyataan yang kita hadapi adalah nilai uang yang melemah seiring berjalannya waktu. Di sisi lain, kebutuhan hidup akan selalu ada dan kita juga memiliki cita-cita yang ingin dicapai. Untuk itu, segeralah berinvestasi sambil terus memperkaya pengetahuan mengenai strategi investasi. Tetapi ingat ya, investasi tidak ada yang membuat kaya mendadak. Investasi, bukan Kanjeng Dimas ?
Catatan:
Artikel ini pernah tayang di website FISIPERS UI
bagus banget infonya, pantas dibagikan ini
wow, blog ini sangat menolong. kami jadi belajar banyak hal dari tulisan ini. lanjutkan!!!